Arsitektur Rakyat, Sebuah Perspektif

ondang
5 min readSep 26, 2016

--

“Kita harus menilai kembali konsep dan praktik ‘berarsitektur’ kita. Kita harus membuang peranan sebagai pengikut dari dunia berpikir dan merancang yang didasari oleh prinsip-prinsip dan cara hidup asing” — Y.B. Mangunwijaya, sambutan terima kasih penerimaan Ruth and Ralph Eskine Award 1995

Tulisan ini dibuka dengan kutipan dari Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan Romo Mangun. Sastrawan, budayawan, rohaniwan, dan pernah menjadi staf pengajar di Jurusan Arsitektur UGM Yogyakarta ini akhirnya mengundurkan diri dari dunia pendidikan di tahun 1982. Lalu mengundurkan diri dari konsep ‘grand architecture’ di tahun 1988. Apa yang membuatnya menjadi seperti itu? Prinsip untuk berpihak pada kaum lemah menjadi pedomannya dalam menyikapi arsitektur. Metode perancangan yang khas dari Romo Mangun akhirnya menghantarkan desain yang layak dan lestari. Konsekuensinya proses pembangunan yang bertahap dan memakan waktu relatif lama. Metode paling rasional dan transparan dapat dilihat pada Proyek Kali Code, dimana Romo Mangun mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat pengguna sejak pembentukan konsep sampai hasil akhir. Metode itu pula yang akhirnya mengenalkan kembali konsep berarsitektur dari, oleh, dan bersama rakyat. Pemahaman wastucitra yang sarat makna, transenden –jasmani dan rohani yang saling bertautan, dan mencerminkan jati diri pengguna, rakyat.

Kampung Kali Code, Yogyakarta (Architecture in Development, 2016)

Arsitektur rakyat (folk architecture) menurut Bruce Allsopp (1980) dalam buku : ’Modern Theory of Architecture’ menjelaskan bahwa ia merupakan arsitektur alami yang menjadi dan berproses pada suatu masyarakat tertentu yang berlokasikan pada suatu wilayah tertentu. Karya arsitektur rakyat akhirnya berkembang atas dasar pertimbangan lingkungan atau iklim setempat. Memang tidak dapat dilepaskan konsep arsitektur rakyat dengan arsitektur vernakular ataupun tradisional karena sama-sama lahir dari proses berkembang masyarakat dan melalui diskusi panjang, bedanya bila vernakular lebih berbicara perkembangannya karena tukang atas dasar pengalamannya (craftmanship), sedangkan tradisional dibuat dengan cara yang turun temurun dengan hanya sedikit perubahan atau bahkan tanpa perubahan. Dengan demikian arsitektur tradisional dapat disebut juga arsitektur kedaerahan.

Baik arsitektur rakyat, ataupun vernakular, dan tradisional begitu dikenal dengan sistem pengerjaannya yang kental dengan semangat gotong-royong. Hal itu yang mulai luntur namun kembali diterjemahkan kembali pada dasawarsa akhir ini menjadi model-model kolaborasi lain. Model-model kolaborasi itu pula yang mulai dikembangkan lebih jauh lagi didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik dalam perencanaan arsitektur maupun sistem swadaya masyarakat menjadi ’participatory design’ yang lebih kompleks. Arsitektur rakyat hadir kembali, menjadi perspektif baru yang lebih humanis.

Akhirnya perspektif baru yang membawa arsitektur kembali mengingat hakikat penciptaan ruangnya membawa dampak positif bagi para penghuninya karena dibangun –dibentuk oleh andil penghuninya, ’sense of belonging’ tercipta bahkan sejak rencana ruang dicoretkan pada secarik kertas. Penghuni bukan hanya menjadi konsumen tetapi juga produsen yang ikut terlibat dalam proses berpikir. Bukan hanya obyek namun juga subyek. Pendapat ini tentu kontras dengan realita berproses arsitektur kebanyakan, dimana arsitektur hanya dipandang sebagai komoditas. Disediakan secara ’tiba-tiba’ dan tiap satu dengan yang lain dianggap sama. Tetapi apa setiap manusia itu sama? Mari coba berpikir ulang. Atas dasar itu pula seharusnya arsitektur mampu didorong untuk lebih kreatif sejak dalam mengumpulkan ide dan membangun gagasan mewujudkan ruang. Ditambah dengan gempuran ekonomi yang makin politis-kapitalis menjadikan kondisi sekarang hanya mampu menghadirkan arsitektur bagi orang-orang ’berpunya’. Bila akhirnya arsitektur hanya boleh dimiliki kalangan minoritas-atas apakah itu bukan tindakan yang kejam? Akhirnya ilmu pengetahuan hanya boleh dinikmati sebagian orang saja, bahkan yang sebagian itu bila dalam prosentase hanya satu persen saja. Lalu arsitektur untuk 99% dikemanakankah?

Dari sekian arsitek muda Indonesia hadir nama-nama seperti Yu Sing Liem (Akanoma), Yuli Kusworo (Arsitek Komunitas), atau Andrea Fitrianto (ASF-ID). Ketiganya memiliki semangat yang sama, menghadirkan arsitektur bagi kalangan 99% ketika yang lain hanya fokus kepada yang 1% saja. Keberpihakan itu membawa arsitektur dipahami lebih kreatif dan lentur menghadapi realita yang semakin terpusat, golongan, dan hadir atas dasar sekat-sekat yang semakin menebal. Arsitektur dibawa menuju ruang yang mampu menjawab masyarakat yang dinamis dan beragam lewat kolaborasi antar pihak, model ’participaroty design’ yang mulai dikenal kembali –semangat gotong-royong dari pribadi-pribadi yang berbeda. Dalam hal-hal yang lebih insidentil seperti kondisi bencana, arsitektur mampu bergerak lebih tanggap dan tidak tertinggal dari peran dokter, perawat, atau bahkan tentara. Salah satu contoh arsitektur hadir sebagai garda terdepan untuk memenuhi apa yang masyarakat butuh, bukan saja apa yang diinginkan terlihat dari peran Eko Prawoto dalam proses penataan-pembangunan kembali rumah-rumah paska gempa di Ngibikan, Yogyakarta. Arsitektur hadir secara gagah bukan karena tampang dilihat orang, tetapi laku dan manfaatnya untuk menuju hidup yang lebih baik.

Rumah setelah melalui proses penataan-pembangunan kembali di Ngibikan, Yogyakarta (Architecture in Development, 2016)

Menjadi tugas perguruan tinggi untuk mencetak generasi penerus dalam bidang arsitektur yang terlatih, tangguh, dan mampu menjawab kondisi yang dibutuhkan. Mahasiswa-mahasiswa arsitektur seharusnya diperkenalkan terhadap realita apa yang perlu ditambah dan apa yang segera untuk ditambal. Pelan-pelan arsitektur didorong bukan hanya untuk 1% saja tetapi 100%, karena 99% yang lain mulai dilirik kembali. ’Knowledge is power’ dan itu pula yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakan ilmu pengetahuan menjadi bermanfaat untuk lebih banyak orang.

Kampus-kampus luar negeri telah bertindak lebih jauh untuk mendorong arsitektur yang mampu menjadi wadah riset, pendidikan, dan aksi pengabdian. Meninggalkan Indonesia yang justru dikenal dengan gotong-royong-nya yang kental. Di Montebello, Cali, Colombia hadir arsitektur yang berangkat dari simbiosis mutualisme antara praktisi arsitektur, kampus, dan masyarakat. Mahasiswa dapat bersentuhan langsung dengan arsitektur yang sebenarnya, yang dekat dengan pengguna dan tidak merasa asing dengan aplikasi diktat-diktat tertulis ruang kelas. Ilmu pengetahuan akhirnya dapat saling menguntungkan bukan?

Pengerjaan bangunan oleh mahasiswa-mahasiswa arsitektur sebagai proses pembelajaran langsung bersama masyarakat setempat di Montebello, Cali, Colombia. (La Vieja, Architecture in Development, 2016)

Perkembangan teknologi dalam bidang arsitektur pun dapat dibawa lebih jauh lagi karena proses penelitiannya yang berangkat dari uji coba secara langsung serta dicermati bersama. Cita-cita untuk menghadirkan bangunan yang bukan hanya ramah lingkungan tetapi juga dapat dijangkau kalangan 99% bukan mimpi kosong lagi.

Inovasi material bambu dalam penerapan struktur-konstruksi bangunan di Montebello, Cali, Colombia. (La Vieja, Architecture in Development, 2016)

Proses produksi pengetahuan yang maju akhirnya dapat didistribusikan secara merata ke semua kalangan. Ditambah dengan perkembangan teknologi komunikasi yang cepat : internet, social media, dan berbagai software unggulan akhirnya dapat dimanfaatkan lebih untuk membawa arsitektur yang berangkat dari niat-niat baik bagi orang kebanyakan, bagi rakyat. Arsitektur yang berangkat bersama rakyat hadir sebagai perspektif baru memandang metode belajar baik dalam maupun luar kelas. Dan arsitektur lebih luas lagi dapat bermanfaat bagi kota yang menampungnya karena dimiliki oleh kalangan 100%. Sebagai penutup ada kutipan menarik dari Jane Jacobs, seorang kritikus arsitektur yang berujar demikian, ”Sebuah kota akan bisa memenuhi kebutuhan semua orang hanya dan jika dibangun oleh semua orang” .

*Tulisan ini akan disampaikan dalam Ngobrol Santai — Part 3 : “Arsitektur Rakyat dari Perspektif Mahasiswa” yang diselenggarakan oleh RSA Abhipraya x Galeri+ pada hari Rabu, 28 September 2016.

--

--

ondang
ondang

Written by ondang

“sedang aku mengembara serupa ahasveros. dikutuk-sumpahi eros.” (tak sepadan, 1943)