Menjadi Mahasiswa Arsitektur Bukan Tentang Mahir Menggambar Saja, Lalu?

ondang
6 min readOct 11, 2017

--

Friedrich David Gilly (16 February 1772–3 August 1800) was a German architect and the son of the architect David Gilly. source https://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Gilly

Sebuah pertanyaan di akhir masa-masa perkuliahan mencoba merangkum. Mempertanyakan keterkaitan antara arsitektur sebagai ilmu, atau justru sebagai seni? Tulisan ini mendapat dorongan dari teks milik Friedrich Gilly dengan judul ‘Some Thoughts on the Necessity of Endeavoring to Unify the Various Departments of Architecture in Both Theory and Practice’ (1799). Teks ini pula yang ditemui oleh mahasiswa semester 9 yang mencoba mengikuti perkuliahan ‘tambahan’ Teori Arsitektur yang sejatinya kepunyaan mahasiswa semester 3. Kurang kerjaan bener! Tetapi apapun alasan tersebut, teks ini cukup untuk mengingatkan para mahasiswa arsitektur yang semakin naik tingkatan atau yang mulai berpraktek untuk mengenal kembali substansi dari arsitektur, karena beberapanya mulai bergeser kepada arah tujuan yang sebenarnya perlu ditemu-kenali kembali. Arsitektur itu makanan apa sih? Tulisan ini juga mengajak orang awam yang sekalipun tidak begitu paham dengan apa yang kami lakukan, dan akhirnya nyinyir.. “Eh cuman nggambar doang mah gampang dong!”, atau permintaan-permintaan seperti “Buatin desain rumah yang keren dong, besok ya aku tagih! Bayar gak? Gratis ya?!”. Mari berkenalan agar saling mengenal dan tidak saling meremehkan. Selamat datang!

Perspektivisches Studienblatt 1798

Arsitektur bila dilihat sebagai produk akhir saja akan begitu erat kaitannya dengan seni. Seni bangunan yang kental dengan sisi kreatifitasnya. Rasa-rasanya bila arsitektur hanya ditempatkan sebagai seni, maka penilainnya yang keluar adalah : bagus atau jelek. Pada arsitektur sebagai seni saja kita akan sulit menemukan pendapat sama bagi kebanyakan orang. Karena bagus atau jelek akan tergantung dengan persepsi masing-masing individu. Apakah memuaskan mata mereka atau tidak? Tidak ada penilaian tambahan lain. Lalu apa yang menjadikannya berbahaya bila akhirnya arsitektur hanya dipandang memiliki sisi seni saja? Arsitektur akan menjelma menjadi gadis-gadis cantik yang kerap nampang di layar-layar social media, di-like.. love! tanpa benar-benar dicintai, di-comment.. dipuja-puja, diobrolin bak berhala padahal kita pun belum pernah mengobrolnya secara langsung. Jadi yang cantik tampilannya apakah juga membuat hari-hari menjadi cantik –karena ternyata suaranya hangat, peluknya teduh, dan tawanya menghibur? Penilaian-penilaian seni yang lebih bersifat ekspresif ini juga kerap kali tanpa dasar alasan yang jelas, seperti dua pemuda tuna asmara yang sedang mengomentari foto-foto gadis kekinian hari ini lewat dialog berikut :

”Wih ada yang cantik nih!”
”Apanya yang cantik?”
”Yaah cantik aja sih, enak dilihat”
”Iya, maksutnya apa yang membuat dia cantik?”
”Emm, rambutnya panjang?”
”Kalau panjang berarti cantik gitu ya?”
”Aku sih suka cewe yang rambutnya panjang!”
”Nih ada satu yang rambutnya pendek.. cantik juga ngga dia?”
”Yang ini sih cantik juga deh”
”Lhoo yang rambut panjang atau pendek nih yang cantik?”
”Dua duanya deh!”
”Ngga konsisten! Macem resleting naik turun mulu!”

Gilly’s plan for a monument to Frederick II of Prussia, Berlin, 1797

Berbeda cerita bila arsitektur dilihat selain berdekatan dengan seni juga sering ngobrol sambil minum kopi lucu dengan ilmu pengetahuan. Sifat ilmu pengetahuan yang logis dan berdasarkan riset mendalam tersebut akhirnya menghadirkan penilaian-penilaian yang beralasan lagi jelas. Hal-hal antara bagus jelek tersebut akhirnya berkembang menjadi baik dan buruk. Kita akan mencari dan melihat arsitektur bukan hanya bagusnya melainkan juga sesuai, tepat, berpadanan, cocok, harmonis, sebati, selaras, seragam, sebahu, dan serasi. Begitu juga akhirnya bila alasan memilih cantik yang berambut panjang karena bisa dibelai mesra lebih lama, lebih terlihat feminim, dan anggun. Atau rambut panjang serasa punya pacar baru terus karena bisa dikuncir kuda, kuncir atas, dikepol, disasak, dikepang dua, digerai, dan diapa-apain lagi deh!

Friedrich Gilly: Essays on Architecture, 1796–1799

Perjalanan arsitektur telah melampau waktu yang panjang, garis edar yang luas. Pendidikan arsitektur secara sejarah merupakan pendidikan vokasional. École des Beaux-Arts (École nationale supérieure des Beaux-Arts) yang bertempat di Paris, Perancis (1682) sebagai sekolah formal paling tua (setara dengan politeknik). Model belajar kelas berfokus pada hal teknis dan cakap dalam mengaplikasikan langgam-langgam klasik yang pada masa tersebut dianggap representasi dari keindahan arsitektur. Pada akhir abad ke-19, University of Pennsylvania yang bertempat di Amerika Serikat untuk pertama kalinya membuka arsitektur pada salah satu program studi di perguruan tinggi. Bauhaus yang dibentuk di Jerman (1919) juga turut memilih melihat arsitektur sebagai sintesis seni, keterampilan, dan teknologi. Kejadian ini secara tidak langsung meredefinisi arsitektur dari sekedar sekumpulan teknik dan keterampilan yang begitu dekat dengan seni merancang bangunan tetapi menjadi sebuah disiplin dan lekat dengan ilmu pengetahuan. Arsitektur yang abstrak akhirnya harus bisa dijelaskan secara rasional, logis, dan sistematis.

Lalu bila dikembalikan pada judul tulisan diatas ‘Menjadi mahasiswa arsitektur bukan tentang mahir menggambar saja, lalu?’ akan membawa langkah mundur mahasiswa arsitektur sebelum sampai pada tahap menggambar yang dekat dengan sisi seni dan begitu kental dengan sentuhan kreatif kepada pemikiran-pemikiran substansial dan pokok. Mahasiswa arsitektur akan terlebih dahulu berkutat dengan apa dan siapa ruang yang akan diciptanya. Bagaimana langkah mempersiapkan informasi-informasi yang penting sebagai dasar-dasar yang logis. Mengapa hal tersebut dipilih. Kapan dan berapa ruang yang harus diciptanya. Mahasiswa arsitektur akan memulai langkah berdekatan dengan hal-hal seperti sifat dan bentuk ruang yang akan diciptanya, apakah hanya rumah yang berisikan pekerjaan rumah tangga dan keseharian keluarga, atau berisikan kantor dan industri dari pabrik-pabrik besar? Lalu melanjutkan langkahnya ke berapa luasannya? Apakah instalasi publik, perencanaan kota, jalan-jalan, peternakan, kanal, bandara? Yang pasti mahasiswa arsitektur akan memulai dengan proses berpikir kreatif menemukan wadah yang sesuai, terbaik, dan solusi paling nyaman. Sebelum menuju tahap menggambar yang dinilai kebanyakan orang awam itu gampang lagi cepat! Bahkan dalam proses menggambar tersebut, mahasiswa arsitektur akan memulai memasukan perhitungan matematis bagi konstruksi yang baik dan nyaman dengan soliditas yang abadi. Mengenal masing-masing material bahan bangunan untuk menemukan cara merangkainya yang indah, mengenal sifatnya, dan daya tahannya terhadap iklim sekitar. Faktor-faktor teknis juga tidak luput. Metode membangun dan cara merangkai masing-masing material bahan bangunan sehingga sesuai dengan gambar yang telah dibuat. Dan satu poin penting lagi, kesemua hal tersebut tentunya perlu dicari dengan cara yang sebaik mungkin untuk menuju kondisi yang paling ekonomis lagi ekologis. Akhirnya tidak ada batas antara seni, teoritis, praktis, dan murni teknis. Arsitektur merangkum keseluruhannya. Arsitektur bukan hanya seni dan hanya tampilannya saja yang dinikmati, tetapi juga seni karena bersisian dengan ilmu pengetahuan dan menyebabkannya lebih berguna bagi sekitar, menghadirkan ketenangan, dan sebagai bagian dari proses kebudayaan. Seni yang melibatkan aktivitas manusia didalamnya dan saling memberikan manfaat baik bagi pengguna ataupun karya aristektur itu sendiri. Arsitektur sebagai seni yang berkembang dan merupakan tanda dari sebuah masyarakat yang berbudaya.

“If art be controlled and subdued, if it be made to conform to the dictates of its age, it will wither and perish… If the arts are to flourish and advance,there must be a universal and active love of art, with a predisposition toward greatness… It is vain to expect that elegance, taste, and fitness for purpose will spread their influence through every craft; for this can never happen until a feeling for art has become general, and until those qualities are in demand.”

Alhasil rumah yang tampilannya cantik ternyata setelah ditinggali begitu menghangatkan karena sinar matahari pagi bisa menyeruak masuk dengan indah memancar ke ruang tidur, pagi-pagi yang cantik lagi menyehatkan bagi penghuni rumah. Rumah yang cantik, ramah pula untuk berbetah lama mengobrol karena udaranya begitu harum, segar, dan sejuk karena jendela-jendelanya diperhitungkan dengan teliti dan masing-masingnya melindungi dari cuaca malam yang terlampau dingin lagi membuat sakit. Rumah yang cantik karena menjaganya dari pencuri televisi tetapi terbuka untuk tetangga yang sedang gembira karena anaknya baru saja wisuda, makan rame-rame deh di taman depan rumah. Rumah yang cantik, karena pengalaman ruangnya membuat kita akan selalu rindu untuk pulang, mendengar suara kipas angin butut atau gesekan pintu yang berderit sambil menyambut ayah pulang kerja membawa nasi goreng kesukaan keluarga. Ruang makan malam itu menjadi saksi bisu keharmonisan keluarga. Indah bukan?

Jadi kalau kamu suka rambut panjang, atau pendek nih?

--

--

ondang
ondang

Written by ondang

“sedang aku mengembara serupa ahasveros. dikutuk-sumpahi eros.” (tak sepadan, 1943)